Mimpi Lelah
Tubuhku rasanya lelah sekali. Terasa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kepala terasa sangat berat karena segunung pekerjaan yang datang mendadak hari ini. Mata terasa berat karena menatap layar komputer dan dokumen yang diprint dengan tulisan kecil. Pundak dan punggung pegal akibat duduk dalam waktu lama di kantor. Tumit kaki terasa ngilu karena hari ini aku harus memakai high heels. Lemas sekali, aku hanya bisa menyeret tubuhku. Lalu aku menggunakan segala tenaga yang tersisa menuju kasur. Ah, begitu empuk dan nyaman. Kuharap segala keletihan ini dibawa larut oleh kasur ini. Sembari berpikir seperti itu aku sudah memejamkan mata dengan rapat. Perlahan-lahan kesadaranku diangkat menuju dunia mimpi. Aku tahu pasti itu, karena aku sudah tidak merasakan tubuhku.
Dalam gelapnya tidur dan hanyutnya rasa lelahku, tiba-tiba rasanya ada yang memanggilku. ”Yan....Yana.”, “Hm..”, responku singkat. Aku suka suara itu. Suara yang rendah dan lembut, tetapi terasa sangat ringan seperti suara penyiar radio favoritku. “Yana, bangunlah!”. Oh, apakah aku akan memimpikan pria idamanku? Inginku cari asal suara itu, tapi mataku terlalu berat untuk aku buka. Eh, bukankah ini mimpi? Kenapa aku harus membuka mata? Suara itu memanggilku sekali lagi, dan disaat yang bersamaan aku merasakan ada ada sesuatu yang menyentuh tanganku. Kecil, dan... berbulu?
Seketika aku membuka mata dan yang kulihat dihadapanku adalah seekor kucing yang sedang menyentuh tanganku. Segera aku duduk di kasur karena kaget melihatnya. Berbulu abu-abu dengan loreng hitam yang terlukis di wajahnya. Jas buntut hitam menghiasi tubuhnya, tidak lupa dengan dasi kupu-kupu. Tetapi ia tidak mengenakan celana. “Akhirnya kau bangun juga, Yan.” Mendengar perkataan itu keluar dari mulut si kucing aku segera mengambil bantalku sambil menatap kucing itu dengan tajam. Harapan bertemu pria tampan yang memiliki suara indah tadi pupus seketika karena wujud dari suara itu seperti ini. Kucing itu berdiri dan mengangkat kaki depannya sejajar dengan kepalanya, ia terlihat panik. “Wah, wah, tenanglah Yana!” Mana bisa aku tenang! “Aku kemari untuk mengingatkanmu memasang alarm untuk besok pagi. Kau belum pasang alarm kan?” Aku terdiam sejenak, teringat besok harus bangun pagi, “Baiklah, aku akan pasang alarm dari handphone-ku.” “Tidak bisa! Alarm itu tidak mampu membangunkanmu besok pagi. Kau terlalu lelah hari ini.”, sahutnya. “Ayo ikut aku!”, katanya kucing itu sambil menurunkan kaki depannya. Ia lanjut berjalan dengan dua kaki. Karena aku sudah sangat lelah untuk berpikir apa yang sedang terjadi, aku ikuti saja dia. Toh, paling ini cuma mimpi.
Aku mengikuti kucing itu keluar dari kamarku. Tetapi di luar kamar itu bukanlah rumahku. Ini sebuah tempat yang sangat berbeda. Apa ini? Hutan? Tetapi dipenuhi cahaya berkilauan. Hanya ada pohon pinus dan semak-semak yang sangat pendek. Aku teliti lagi cahaya yang berkilauan itu. Ternyata itu adalah kelelawar, membawa lentera kotak yang terbuat dari bambu. Entah apa isi dari lentera itu, aku dapat melihat jalan dan bentuk hutan ini dengan jelas karena cahayanya. Aku terawang sekelilingku. Tidak ada yang lain selain pohon pinus. Aku lihat lagi si kucing. Ia sudah jauh di depanku dan sedang berdiri di tempat yang terbuka. Cahaya bulan menerangi tempat itu, sehingga kelelawar hanya berdiam di tempat ia berada dan meninggalkan aku menuju tempat si kucing. Sekarang aku dikelilingi pohon pinus. Di hadapanku ada si kucing dan sebuah jam besar. Jam itu berdiri tegak dengan gagahnya. Badannya terbuat dari kayu pinus. Terlihat dari kamuflase yang diciptakan dari badan jam itu. Tidak lupa di dalamnya terdapat bandul yang biasa berbunyi setiap jamnya. “Sekarang pasang alarmnya.” Kata kucing itu. Aku mendekati jam tersebut, kira-kira tingginya sama dengan tinggiku. Jarum jamnya sejajar dengan mataku. “Langsung saja kau putar jarum itu ke waktu yang kau inginkan.” Ia sudah menjelaskannya sebelum aku sempat bertanya. Langsung saja aku putar jam tersebut menuju pukul 06.00. “Klek!” begitu bunyinya ketika jarum berada di pukul 06.00. Bandul jam mulai bergerak, loncengnya berbunyi pelan. Makin lama lonceng itu makin keras suaranya. Sepertinya tidak berasal dari jam itu, karena aku mendengar suaranya menggema dari hutan yang mengelilingi diriku. Tidak lama kemudian ada suara ayam berkokok. Tidak hanya satu suara, mereka saling bersahut-sahutan. Semakin lama semakin dekat. Ayam-ayam pejatantan datang berkumpul di tempatku berdiri. Begitu berisik suara lonceng dan bunyi ayam itu. Aku menutup mata dan telinga, berharap suaranya berkurang. Tetapi suara itu malah makin keras.
Sekarang hanya suara ayam yang tersisa dan semakin menggema di telingaku. Aku ingin marah pada si kucing, lalu aku membuka mataku. Tetapi hanya cahaya yang menyilaukan yang aku lihat. Perlahan cahaya tersebut mereda, ku lihat tas kerjaku di hadapanku. Aku sudah kembali ke kamarku. Suara ayam itu masih ada. Aku baru ingat kalau tetangga sebelah baru beli ayam jantan. Badanku terasa sangat ringan sekarang, tidak berat untuk bangun. Aku meraih handphone yang ada di samping bantalku dan aku lihat waktu menunjukkan pukul 06.00.
Dalam gelapnya tidur dan hanyutnya rasa lelahku, tiba-tiba rasanya ada yang memanggilku. ”Yan....Yana.”, “Hm..”, responku singkat. Aku suka suara itu. Suara yang rendah dan lembut, tetapi terasa sangat ringan seperti suara penyiar radio favoritku. “Yana, bangunlah!”. Oh, apakah aku akan memimpikan pria idamanku? Inginku cari asal suara itu, tapi mataku terlalu berat untuk aku buka. Eh, bukankah ini mimpi? Kenapa aku harus membuka mata? Suara itu memanggilku sekali lagi, dan disaat yang bersamaan aku merasakan ada ada sesuatu yang menyentuh tanganku. Kecil, dan... berbulu?
Seketika aku membuka mata dan yang kulihat dihadapanku adalah seekor kucing yang sedang menyentuh tanganku. Segera aku duduk di kasur karena kaget melihatnya. Berbulu abu-abu dengan loreng hitam yang terlukis di wajahnya. Jas buntut hitam menghiasi tubuhnya, tidak lupa dengan dasi kupu-kupu. Tetapi ia tidak mengenakan celana. “Akhirnya kau bangun juga, Yan.” Mendengar perkataan itu keluar dari mulut si kucing aku segera mengambil bantalku sambil menatap kucing itu dengan tajam. Harapan bertemu pria tampan yang memiliki suara indah tadi pupus seketika karena wujud dari suara itu seperti ini. Kucing itu berdiri dan mengangkat kaki depannya sejajar dengan kepalanya, ia terlihat panik. “Wah, wah, tenanglah Yana!” Mana bisa aku tenang! “Aku kemari untuk mengingatkanmu memasang alarm untuk besok pagi. Kau belum pasang alarm kan?” Aku terdiam sejenak, teringat besok harus bangun pagi, “Baiklah, aku akan pasang alarm dari handphone-ku.” “Tidak bisa! Alarm itu tidak mampu membangunkanmu besok pagi. Kau terlalu lelah hari ini.”, sahutnya. “Ayo ikut aku!”, katanya kucing itu sambil menurunkan kaki depannya. Ia lanjut berjalan dengan dua kaki. Karena aku sudah sangat lelah untuk berpikir apa yang sedang terjadi, aku ikuti saja dia. Toh, paling ini cuma mimpi.
Aku mengikuti kucing itu keluar dari kamarku. Tetapi di luar kamar itu bukanlah rumahku. Ini sebuah tempat yang sangat berbeda. Apa ini? Hutan? Tetapi dipenuhi cahaya berkilauan. Hanya ada pohon pinus dan semak-semak yang sangat pendek. Aku teliti lagi cahaya yang berkilauan itu. Ternyata itu adalah kelelawar, membawa lentera kotak yang terbuat dari bambu. Entah apa isi dari lentera itu, aku dapat melihat jalan dan bentuk hutan ini dengan jelas karena cahayanya. Aku terawang sekelilingku. Tidak ada yang lain selain pohon pinus. Aku lihat lagi si kucing. Ia sudah jauh di depanku dan sedang berdiri di tempat yang terbuka. Cahaya bulan menerangi tempat itu, sehingga kelelawar hanya berdiam di tempat ia berada dan meninggalkan aku menuju tempat si kucing. Sekarang aku dikelilingi pohon pinus. Di hadapanku ada si kucing dan sebuah jam besar. Jam itu berdiri tegak dengan gagahnya. Badannya terbuat dari kayu pinus. Terlihat dari kamuflase yang diciptakan dari badan jam itu. Tidak lupa di dalamnya terdapat bandul yang biasa berbunyi setiap jamnya. “Sekarang pasang alarmnya.” Kata kucing itu. Aku mendekati jam tersebut, kira-kira tingginya sama dengan tinggiku. Jarum jamnya sejajar dengan mataku. “Langsung saja kau putar jarum itu ke waktu yang kau inginkan.” Ia sudah menjelaskannya sebelum aku sempat bertanya. Langsung saja aku putar jam tersebut menuju pukul 06.00. “Klek!” begitu bunyinya ketika jarum berada di pukul 06.00. Bandul jam mulai bergerak, loncengnya berbunyi pelan. Makin lama lonceng itu makin keras suaranya. Sepertinya tidak berasal dari jam itu, karena aku mendengar suaranya menggema dari hutan yang mengelilingi diriku. Tidak lama kemudian ada suara ayam berkokok. Tidak hanya satu suara, mereka saling bersahut-sahutan. Semakin lama semakin dekat. Ayam-ayam pejatantan datang berkumpul di tempatku berdiri. Begitu berisik suara lonceng dan bunyi ayam itu. Aku menutup mata dan telinga, berharap suaranya berkurang. Tetapi suara itu malah makin keras.
Sekarang hanya suara ayam yang tersisa dan semakin menggema di telingaku. Aku ingin marah pada si kucing, lalu aku membuka mataku. Tetapi hanya cahaya yang menyilaukan yang aku lihat. Perlahan cahaya tersebut mereda, ku lihat tas kerjaku di hadapanku. Aku sudah kembali ke kamarku. Suara ayam itu masih ada. Aku baru ingat kalau tetangga sebelah baru beli ayam jantan. Badanku terasa sangat ringan sekarang, tidak berat untuk bangun. Aku meraih handphone yang ada di samping bantalku dan aku lihat waktu menunjukkan pukul 06.00.
Comments
Post a Comment